Selasa, 27 November 2012

Gaun


Rena memandangi gaun pengantin yang ada di depan lemarinya, masih rapi, wangi baru itu masih menyengat di hidung. Tapi gaun itu adalah kenangan utuhnya bersama Rian. Dalam gaun itu ada janji-janji Rian yang belum tertunaikan. Sedangkan Rena tak mungkin memakai gaun itu jika tak ada pesta pernikahan.
Gaun pengantin berwarna putih itu seolah memandangi Rena, apa mungkin ada harapan agar gaun itu dipakainya? Tapi untuk acara apa? tak ada pesta pernikahan lagi, Rian belum juga kembali. Bagaimana mungkin Rena memakainya tanpa sepengetahuan Rian. Hati kecil Rena pun sudah tak sabar ingin mencoba mengenakan gaun bermoif bunga itu. hanya sekedar mencobanya, karena sejak gaun itu berada di rumahnya, dia tidak dibolehkan memakainya kecuali pesta itu telah datang.
“Apa kau tak ingin memakai aku?” sapa suara di antara gaun putih yang menghadap ke lemari kacanya. Apa ada seseorang di sini? Apa Rena tidak sedang berhalusinasi? Entahlah. Tapi gaun  itu seolah bicara padanya.
Rena belum ada hak untuk memakai gaun tanpa lengan itu, gaun itu terlalu indah untuk perempuan seperti dirinya. Mungkin hanya orang kaya saja yang pantas memakai gaun pengantin semewah itu. Rena kembali lagi ke tempat tidurnya, sambil memandangi gaun itu dan keindahannya. Gaun simple warna putih, motif bunga dan katanya dibeli di perancis itu tampak anggun. Tapi Rena masih memikirkan banyak hal.
“Hai, pakailah, kau akan tampak cantik,” suara itu kembali mengganggunya, Rena yakin dia sedang tidak berhalusinasi. Apa mungkin dia memiliki penyakit skizofrenia? Tidak. Seingatnya dia tidak memilikinya. Tapi jika sampai dia merasa mendengar, melihat dan membaui sesuatu yang bukan dari kehidupan nyata, maka dia pasti memiliki gejala itu. tapi dia masih normal. Apa mungkin dia tidak bisa bergaul dengan orang lain? kehidupan sosialnya baik-baik saja seingatnya. Rena dipenuhi dengan banyak tanda tanya. Semua karena gaun ini yang sejak tadi membuatnya memikirkan banyak hal.
“Kau harus memakainya!” ucapnya lagi dan kali ini tampak ketus.
Seketika tanpa sadar Rena sudah meraih gaun itu dan memakainya. Maka tampaklah di dalam cermin. Dirinya dalam balutan gaun sempurna itu. rasanya dia tidak ingin melepas lagi. Gaun ini terlalu nyaman dan terlalu cantik. Di dalam kaca itu terlihat seperti bukan dirinya. Apa mungkin ada orang lain lagi? Saat Rena sadar bahwa yang berada di dalam kaca itu bukan pantulan dirinya. Tiba-tiba angin berhembus kencang, jendela kamar tiba-tiba menutup rapat karena hembusan angin itu dan yang lebih tak bisa dimengerti lagi. Ada sayap yang tiba-tiba muncul dalam diri Rena, mungkinkah efek dari gaun ini? entahlah dan Rena sudah tak sadarkan diri.
***
“Aku di mana?” ucap Rena ketika sudah tersadar dari tidurnya. Bahkan Rena tidak tahu sejak kapan dia tertidur dan seakan sudah beristirahat dengan nyaman. Rasanya tempatnya lebih nyaman dibanding rumahnya.
“Sudah bangun?” itu adalah suara yang sangat dikenal Rena.
Setelah dia sadar dan memandangi tempat yang membuatnya nyaman. Sangat indah. Taman penuh bunga. Dan matanya menerawang ke taman mawar putih. Ini seperti janji Rian untuk membawanya ke taman yang serupa dengan ini. tapi di mana dia sebenarnya? Apa tempat ini tak bisa ditemukan orang lain? tempat ini hanya hamparan bunga. Tapi tak terkena sinar matahari sama sekali. sangat aneh.
Setelah dikejutkan dengan hamparan bunga mawar putih, Rena memandangi kamar yang dipakainya beberapa jam yang lalu. Hiasan kamar ini persis seperti yang diinginkannya. Dia ingin jika nanti menikah dengan Rian, kamarnya harus dipenuhi dengan mawar merah dan di tempat tidurnya ada taburan bunga saat malam pertama. Tiba-tiba tangannya sudah memegang bunga yang sepertinya sudah ditabur itu. Persis seperti keinginannya.
“Rian, kau di mana?” tanya Rena setelah tersadar dari semua hal yang diingatnya. Semua janji itu benar-benar dipenuhi oleh Rian.
“Aku harus pergi,” ucap Rian setelah memandangi Rena untuk beberapa menit. Entah kenapa Rian sangat berbeda. Biasanya dia akan menatap Rena hanya beberapa detik sebelum dia pergi. Tapi kali ini, dia benar-benar berbeda.
“Pergi ke mana? Kau tak ingin mengajakku?” tanya Rena beruntun.
“Tidak. Kau tidak boleh ikut denganku. Berbahagialah,” pamit Rian.
Saat itu tiba-tiba kabut mengelilinginya. Rena mencari-cari Rian, tapi tak ada gunanya. Dia sudah jauh meninggalkannya. Rena menangis sejadi-jadinya. Air matanya tumpah tapi Rian tetap tak akan datang. dia tak akan pernah kembali. Setelah beberapa menit Rena sudah kembali tertidur.
***
“Rena, kau sudah bangun,” suara Tante Marina membangunkannya.
“Iya, tante, kenapa?” tanya Rena sembari bangun dari tidurnya. Belum sempat dia mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, tante Marina sudah menangis dan memeluknya.
“Rian…dia, kecelekaan dan meninggalkan kita semua,” ucap Tante Marian masih dengan menangis. Sementara Rena masih belum percaya kalau semua itu terjadi.
“Tidak mungkin Tante, tadi malam Rena ketemu dengan Rian,” sanggah Rena.
“Sungguh, Ren, kamu harus percaya.”
“Tapi, dia sudah datang dan membawaku ke pesta pernikahan yang indah. Lihatlah tante, aku sudah memakai gaun ini.”
“Tidak, Ren,”
Perlahan-lahan air mata Rena kembali mengalir. Rumah ini kini dibanjiiri oleh air mata atas kepergian Rian. Tapi Rena tak akan meminta apa-apa lagi pada Rian, janji itu sudah dipenuhinya tadi malam. Dia sudah datang dalam mimpinya dan membuatnya bahagia. Dialah lelaki yang paling hebat, seandainya Tuhan tak mengambilnya lebih dulu darinya.
***
Belum genap tujuh hari kematian Rian, tiba-tiba ada seorang yang mengantarkan seratus mawar merah untuknya. Selain itu ada lampiran surat untuknya yang tak pernah diduga. Semuanya seperti kejutan hanya untuk membahagiakannya.

To: Rena
Di jalan ini ada taman bunga yang sudah aku beli untukmu. Aku sudah merawatnya agar kelak ketika kau ke sana, kau sudah melihat taman bunga seperti impianmu. Jika kau balik kertas ini, maka kau akan menemukan peta di mana tempat itu. hanya untukmu. Semoga kau bahagia. Jika kau bahagia maka aku akan bahagia. Tersenyumlah agar dunia juga tersenyum untukmu.
Kekasihmu, Rian.



The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar