Rena memandangi gaun pengantin yang ada di depan
lemarinya, masih rapi, wangi baru itu masih menyengat di hidung. Tapi gaun itu
adalah kenangan utuhnya bersama Rian. Dalam gaun itu ada janji-janji Rian yang
belum tertunaikan. Sedangkan Rena tak mungkin memakai gaun itu jika tak ada
pesta pernikahan.
Gaun pengantin berwarna putih itu seolah memandangi
Rena, apa mungkin ada harapan agar gaun itu dipakainya? Tapi untuk acara apa?
tak ada pesta pernikahan lagi, Rian belum juga kembali. Bagaimana mungkin Rena
memakainya tanpa sepengetahuan Rian. Hati kecil Rena pun sudah tak sabar ingin
mencoba mengenakan gaun bermoif bunga itu. hanya sekedar mencobanya, karena
sejak gaun itu berada di rumahnya, dia tidak dibolehkan memakainya kecuali
pesta itu telah datang.
“Apa kau tak ingin memakai aku?” sapa suara di antara
gaun putih yang menghadap ke lemari kacanya. Apa ada seseorang di sini? Apa
Rena tidak sedang berhalusinasi? Entahlah. Tapi gaun itu seolah bicara padanya.
Rena belum ada hak untuk memakai gaun tanpa lengan
itu, gaun itu terlalu indah untuk perempuan seperti dirinya. Mungkin hanya
orang kaya saja yang pantas memakai gaun pengantin semewah itu. Rena kembali
lagi ke tempat tidurnya, sambil memandangi gaun itu dan keindahannya. Gaun
simple warna putih, motif bunga dan katanya dibeli di perancis itu tampak
anggun. Tapi Rena masih memikirkan banyak hal.
“Hai, pakailah, kau akan tampak cantik,” suara itu
kembali mengganggunya, Rena yakin dia sedang tidak berhalusinasi. Apa mungkin
dia memiliki penyakit skizofrenia? Tidak. Seingatnya dia tidak memilikinya.
Tapi jika sampai dia merasa mendengar, melihat dan membaui sesuatu yang bukan
dari kehidupan nyata, maka dia pasti memiliki gejala itu. tapi dia masih
normal. Apa mungkin dia tidak bisa bergaul dengan orang lain? kehidupan
sosialnya baik-baik saja seingatnya. Rena dipenuhi dengan banyak tanda tanya.
Semua karena gaun ini yang sejak tadi membuatnya memikirkan banyak hal.
“Kau harus memakainya!” ucapnya lagi dan kali ini
tampak ketus.
Seketika tanpa sadar Rena sudah meraih gaun itu dan
memakainya. Maka tampaklah di dalam cermin. Dirinya dalam balutan gaun sempurna
itu. rasanya dia tidak ingin melepas lagi. Gaun ini terlalu nyaman dan terlalu
cantik. Di dalam kaca itu terlihat seperti bukan dirinya. Apa mungkin ada orang
lain lagi? Saat Rena sadar bahwa yang berada di dalam kaca itu bukan pantulan
dirinya. Tiba-tiba angin berhembus kencang, jendela kamar tiba-tiba menutup
rapat karena hembusan angin itu dan yang lebih tak bisa dimengerti lagi. Ada sayap yang tiba-tiba muncul dalam diri
Rena, mungkinkah efek dari gaun ini? entahlah dan Rena sudah tak sadarkan diri.
***
“Aku di mana?” ucap Rena ketika sudah tersadar dari
tidurnya. Bahkan Rena tidak tahu sejak kapan dia tertidur dan seakan sudah beristirahat dengan nyaman. Rasanya
tempatnya lebih nyaman dibanding rumahnya.
“Sudah bangun?” itu adalah suara yang sangat dikenal
Rena.
Setelah dia sadar dan memandangi tempat yang
membuatnya nyaman. Sangat indah. Taman penuh bunga. Dan matanya menerawang ke
taman mawar putih. Ini seperti janji Rian untuk membawanya ke taman yang serupa
dengan ini. tapi di mana dia sebenarnya? Apa tempat ini tak bisa ditemukan
orang lain? tempat ini hanya hamparan bunga. Tapi tak terkena sinar matahari
sama sekali. sangat aneh.
Setelah dikejutkan dengan hamparan bunga mawar putih,
Rena memandangi kamar yang dipakainya beberapa jam yang lalu. Hiasan kamar ini
persis seperti yang diinginkannya. Dia ingin jika nanti menikah dengan Rian,
kamarnya harus dipenuhi dengan mawar merah dan di tempat tidurnya ada taburan
bunga saat malam pertama. Tiba-tiba tangannya sudah memegang bunga yang
sepertinya sudah ditabur itu. Persis seperti keinginannya.
“Rian, kau di mana?” tanya Rena setelah tersadar dari
semua hal yang diingatnya. Semua janji itu benar-benar dipenuhi oleh Rian.
“Aku harus pergi,” ucap Rian setelah memandangi Rena
untuk beberapa menit. Entah kenapa Rian sangat berbeda. Biasanya dia akan
menatap Rena hanya beberapa detik sebelum dia pergi. Tapi kali ini, dia
benar-benar berbeda.
“Pergi ke mana? Kau tak ingin mengajakku?” tanya Rena
beruntun.
“Tidak. Kau tidak boleh ikut denganku. Berbahagialah,”
pamit Rian.
Saat itu tiba-tiba kabut mengelilinginya. Rena
mencari-cari Rian, tapi tak ada gunanya. Dia sudah jauh meninggalkannya. Rena
menangis sejadi-jadinya. Air matanya tumpah tapi Rian tetap tak akan datang.
dia tak akan pernah kembali. Setelah beberapa menit Rena sudah kembali
tertidur.
***
“Rena, kau sudah bangun,” suara Tante Marina
membangunkannya.
“Iya, tante, kenapa?” tanya Rena sembari bangun dari
tidurnya. Belum sempat dia mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, tante Marina
sudah menangis dan memeluknya.
“Rian…dia, kecelekaan dan meninggalkan kita semua,”
ucap Tante Marian masih dengan menangis. Sementara Rena masih belum percaya
kalau semua itu terjadi.
“Tidak mungkin Tante, tadi malam Rena ketemu dengan
Rian,” sanggah Rena.
“Sungguh, Ren, kamu harus percaya.”
“Tapi, dia sudah datang dan membawaku ke pesta
pernikahan yang indah. Lihatlah tante, aku sudah memakai gaun ini.”
“Tidak, Ren,”
Perlahan-lahan air mata Rena kembali mengalir. Rumah
ini kini dibanjiiri oleh air mata atas kepergian Rian. Tapi Rena tak akan
meminta apa-apa lagi pada Rian, janji itu sudah dipenuhinya tadi malam. Dia
sudah datang dalam mimpinya dan membuatnya bahagia. Dialah lelaki yang paling hebat, seandainya Tuhan tak
mengambilnya lebih dulu darinya.
***
Belum genap tujuh hari kematian Rian, tiba-tiba ada
seorang yang mengantarkan seratus mawar merah untuknya. Selain itu ada lampiran
surat untuknya yang tak pernah diduga. Semuanya seperti kejutan hanya untuk
membahagiakannya.
To: Rena
Di jalan ini ada taman bunga yang sudah aku beli
untukmu. Aku sudah merawatnya agar kelak ketika kau ke sana, kau sudah melihat
taman bunga seperti impianmu. Jika kau balik kertas ini, maka kau akan
menemukan peta di mana tempat itu. hanya untukmu. Semoga kau bahagia. Jika kau
bahagia maka aku akan bahagia. Tersenyumlah agar dunia juga tersenyum untukmu.
Kekasihmu, Rian.
The End